"tidak adakah.... pelajaran yang dapat dipetik dari mengunjungi dan membaca Risalah elkahfie...??!!!"

Sabtu, 10 Juli 2010

Si Bahlul dan Tokoh Sufi


Publik menilai bahwa Bahlul adalah orang gila. Tak sebatas kaum awam, bahkan santri kebanyakan pun menganggapnya demikian.

Suatu ketika seorang sufi terkemuka dari negri yang sangat maju, sedang mengadakan kunjungan ke luar kota yang diikuti oleh para santrinya. Tiba di suatu tempat..., sang Syekh bertanya pada para santrinya mengenai Bahlul. Kontan mereka menjawab, "Bahlul itu orang gila, Syekh..!!! Apa yang Syekh perlukan dari seorang gila?"

"Cari dia..., aku ada perlu dengannya..!!!" desak sang Syekh pada para santrinya .

Para santri pun segera mencari Bahlul hingga berhasil mereka ketemukan di sebuah
pojok kota, lalu sang Syekh mereka antar menemuinya...

Tatkala Syekh mendekat, Bahlul tampak gelisah dan menyandarkan kepalanya pada sebuah tembok... Syekh menyapanya, dan Bahlul pun menanggapi... "Siapa engkau??.."

"Junaid, dari negri hebat..." jawabnya.

"Si Abul Qasim itu???.." kata Bahlul minta penjelasan.

"Benar" jawab Syekh.

"Tahukah engkau, bagaimana cara makan??..." tanya Bahlul.

"Aku memulainya dengan membaca basmalah... aku memakan makanan yang ada dihadapanku... aku menyuapnya sedikit demi sedikit yang kumasukkan pada sisi kanan mulutku... kukunyah perlahan-lahan hingga benar-benar lumat... dan aku belum mengambil suapan berikutnya sebelum yang kukunyah kutelan... Aku mengingat Allah selama makan... dan apapun yang kumakan senantiasa kusyukuri dengan mengucapkan hamdalah... dan kucuci tanganku baik sebelum maupun seusai makan..."

Sembari menyibakkan pakaiannya Bahlul menegakkan tubuh lalu berkata: "Engkau merasa menjadi guru olah batin, tetapi cara makan saja engkau tak mengetahuinya !"
Bahlul pun segera berlalu meninggalkan Syekh junaid.

"Syekh, ia orang gila..!!!" komentar para santri .

"Ia orang gila yang cerdas dan arif..." jawab Syekh junaid, "Kita bisa menimba banyak ilmu darinya."

Bahlul mendekati sebuah bangunan tua yang sudah tak berpenghuni... dan dengan diikuti para santri, Syekh Junaid menyusulnya...

Melihat ada yang datang Bahlul bertanya, "Siapa kau???.."

"Syekh al-Baghdadi yang bahkan cara makanpun tak tahu..." jawab Syekh Junaid.

"Memang kau tak tahu cara makan... Tetapi apakah kau tahu bagaimana cara berbicara?..." tanya Bahlul.

"Ya, aku tahu!" jawabnya lagi .

"Coba terangkan!!.." perintah Bahlul .

"Aku berbicara tidak kurang dan tidak pula lebih, tidak sembarang bicara, berbicara dengan bahasa yang bisa di mengerti audien. Aku mengajak umat manusia kepada Allah dan Rasulnya, aku tidak berbicara terlalu banyak agar umat manusia tidak bosan, kuatur sedemikian rupa mimik dan bahasa tubuhku.." Syekh melanjutkan dengan menyebutkan berbagai hal tentang tatacara dan tatakrama berbicara...

"Tah usah berpikir tentang makan... Sebab cara berbicara saja engkau tak tahu!!!.." tegas Bahlul sambil menegakkan tubuh lalu pergi meninggalkan Syekh Junaid.

Para santri Syekh Junaid berkata "Sudahlah Syekh... biarkan Bahlul pergi.
Toh tak ada yang bisa kita dapatkan dari orang gila!!.."

"Ada hal yang amat kubutuhkan darinya..." tukas Syekh Junaid, "dan kalian belum mengetahui itu.."

Segera Syekh Junaid mengejar Bahlul hingga bisa bertatap muka lagi .

"Mau apalagi kau??..." tanya Bahlul, "Syekh yang tak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, tahukah engkau cara tidur???..."

"Ya, ya!... Aku tahu itu!..." jawab Syekh.

"Bagaimana cara kamu tidur?..." tanya Bahlul.

"Usai mengerjakan shalat Isya' yang kuteruskan wirid, kukenakan pakaian tidur.." Selanjutnya Syekh menceritakan tata cara tidur sebagaimana sering kita dengar dari para tokoh agama.

"Sudah.. sudah...!!" seru Bahlul, "ternyata tak tahu juga bagaimana cara tidur..."
Setelah berkata demikian... Bahlul segera bangkit dan hendak pergi, namun bajunya ditahan oleh Syekh Junaid sembari berkata, "Baik, aku salah... Aku tak tahu bagaimana cara makan, berbicara maupun tidur. Maka, demi Allah... ajarilah aku..!"

"Sebelumnya engkau menyatakan bahwa dirimu alim dan tahu" kata Bahlul, "maka aku segera meninggalkanmu. Kini... setelah engkau mengakui bahwa dirimu masih belum cukup tahu maka aku bersedia mengajarimu... Ketahuilah bahwa semua yang kau tuturkan itu baru sebatas lapis luar. Inti dari makan yang benar adalah bahwa apa yang kau makan itu halal. jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang kauceritakan itu, meski dengan seratus kali lipatnya pun ia tak ada manfaatnya... melainkan akan menyebabkan hatimu keras, kotor, hitam dan pengap."

"Jazakallah..." ucap Syekh "Semoga Allah memberimu balasan yang setimpal..."

"Hati harus bersih..." lanjut Bahlul "serta terpancang niat yg tulus sebelum kau mulai angkat bicara. Apa yg kau ucapkan juga harus diridhai Allah. jika hanya untuk target duniawi atau tindakan sia-sia, maka apapun yg kau ucapkan hanya akan menjadi bencana buatmu. itu sebabnya mengapa diam adalah yg paling baik. Sementara pernyataanmu tentang tidur, itu pun juga masih lapis luar... inti dari tidur yang benar adalah bahwa hatimu harus bersih dari rasa permusuhan, iri dan dengki serta rasa benci... Hatimu tak boleh tamak pada dunia berikut hiasan yg terdapat di dalamnya... dan ingatlah Allah saat berangkat tidur..."

Sambil membungkuk penuh rasa ta'zim Syekh Junaid mencium tangan Bahlul dan mendoakannya....

Selasa, 06 Juli 2010

"berDzIKIR apa memBEO...???"


Sahabat…, yang Tua dan yang Muda, yang Alim dan yang Awam, yang Kaya dan yang Fakir, yang Pejabat dan yang Rakyat biasa, hampir setiap saat… setiap waktu… dan di setiap tempat… kita sering berdzikir: Subhanallah… Alhamdulillah… Laailahaillallah… Allah Akbar…
Pada dasarnya berdzikir/ mengingat Allah, hakikatnya dan manfaatnya kembali kepada kita, untuk diri kita sendiri. Sesuai dengan firman Allah SWT: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28).
Hikmah Dzikir itu diantaranya adalah dapat menenangkan hati. Jika sahabat sudah berdzikir, Subhanallah…, Alhamdulillah…., Laailahaillallah…, Allahu Akbar…, atau dzikir-dzikir yang lain, tetapi tidak menimbulkan rasa tenteram di hati sahabat, janganlah engkau bersedih hati. Sebab tujuan utama dzikir itu bukanlah mencari ketenangan, akan tetapi tujuan dzikir itu adalah menuju kepada Allah dan kembali kepada Allah dengan selalu bertafakkur akan kebesaran -kebesaran-Nya. Jika sahabat bisa menuju dan kembali kepada Allah serta bertafakkur, dipastikan sahabat bisa meraih ketenteraman dalam hati.
Tidak tercapainya ketentraman hati ketika berdzikir, mungkin disebabkan karena tujuan kita berdzikir bukan karena Allah, bukan menuju dan kembali kepada Allah. Tetapi masih ada tujuan-tujuan lain, seperti agar bisnis kita maju, agar karier kita memuncak, agar sukses dan lain sebagainya. Tujuan-tujuan selain Allah itulah yang mengkabuti jiwa kita. Sebab jika kita mempunyai tujuan-tujuan atau sesuatu yang kita mohonkan kepada Allah, maka tempatnya ada dalam do’a. Dan ketika kita selesai berdzikir, baru kita berdo’a. Bukan pada saat kita berdzikir!!!… Di sebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Fajr: 27-28 “ Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Jiwa akan tenang kalau tujuan kita adalah meraih Ridha-Nya. Dan jiwa yang diridhai itu adalah jiwa yang senantiasa mengembalikan segalanya kepada Allah Azza Wa Jalla. Hindarilah kata-kata seperti: “seandainya dulu begini… begitu…, pasti tidak begini… begitu…” pengandaian terhadap hal-hal yang telah lalu hanyalah omongan hawa nafsu, yang ujung-ujungnya menjadi tunggangan syetan laknatullah. Sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an Surat An Naml: 4, Allah SWT berfirman: ”…Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka…”.

Alkisah: Seorang Kyai dengan Ilmu hikmahnya yang luas, memiliki seekor burung beo yang pandai mengucapkan Salam dan kalimat-kalimat Dzikir: ”Subhanallah, Alhamdulillah, Laailahaillallah, Allahu Akbar..” setiap saat diulang-ulangnya kalimat itu, tiada hari tanpa berdzikir… makin hari, makin fasih aja si burung. Pak Kyai senangnya bukan main, hampir tiap hari ada saja orang yang menawar (untuk membelinya), tapi dengan tegas Pak Kyai selalu mengatakan tidak dijual berapa pun harganya. Hingga suatu hari si burung beo (burung kesayangan Pak Kyai) disambar kucing, dan terdengar suaranya yang nyaring saat sakaratul maut ”keak… keak… keak…”. Pak Kyai melihat sendiri kejadian itu. Akibatnya, Beliau pun menangis dan bersedih selama ber hari-hari. Sampai seorang santri memberanikan diri untuk bertanya perihal apa yang telah terjadi hingga Pak Kyai sangat sedih?…

”Sembari meneteskan air mata, Pak Kyai menjelaskan bahwa burung beo-nya telah mati disambar kucing, padahal burung itu senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat dzikir. ”Dan yang membuatku sedih adalah ketika burung beo itu mengalami sakaratul maut, burung beo itu tidak mengucapkan kalimat-kalimat dzikir yang biasa dibacanya setiap hari, tapi hanya ”keak… keak… keak… kata-kata itu yang keluar dari paruhnya… itu sebabnya aku menangis sedih…” kata Pak Kyai.
”Lebih sedih lagi, ketika aku teringat betapa setiap hari kita berdzikir, Subhanallah…, Alhamdulillah…, Laailahaillallah..,. Allahu Akbar…, dan setiap kita (makhluk hidup) pasti akan mengalami kematian. Mungkinkah, saat sakaratul maut nanti kita membawa/ mengucapkan dzikir-dzikir yang biasa kita ucapkan seperti saat kita masih hidup?..”. Sambil menahan isak tangis Beliau kembali bertanya: ”Atau mungkin, saat ini kita tidak sedang berdzikir, tapi kita sedang membeo?..”
”Astaghfirullahal Adlim…"

Sahabat… cerita di atas dapat kita simpulkan bahwa dzikir yang sebenarnya adalah dzikir yang ikhlas dari dalam hati kita, bukan hanya di bibir. Karena dengan keikhlasan itu, maka hati akan senantiasa menuntun anggota tubuh kita untuk ikut selalu berdzikir secara spontanitas. Hal ini disebab kan karena kebarokahan akan ke-”istiqomah”an (berkelanjutan/ terus menerus) itu sendiri.
Sesuai dengan hadits Nabi SAW ”Istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah”.
Sedangkan dzikir itu bermacam-macam, baik dari ucapan maupun amal perbuatan. Sehingga kita bebas mengamalkannya sesuai dengan yang kita suka, yang kita inginkan, dan yang kita mampu. Asalkan diiringi dengan rasa ikhlas semata-mata mengharap ridlo Allah SWT serta tidak melenceng dari syariat Islam.
Wallahu bis showab…

Senin, 05 Juli 2010

Pembuat Kain


Suatu hari... ada seorang hamba Allah yang ingin melakukan perjalanan ke Baitullah. Ia adalah seorang yang pandai membuat kain tenun. Kain-kain yang dihasilkannya memiliki kualitas yang baik dan tidak memiliki cela sedikitpun. Kemampuannya ini didasari atas ketekunannya yang tidak pernah berhenti ketika ia membuat sebuah kain tenun. Dari sinilah ia memiliki pemikiran untuk menjual sebuah kain tenun yang dibuatnya untuk bekal ia selama perjalanan menuju Baitullah.

Selama berminggu-minggu... ia dengan tekunnya mengerjakan kain itu dengan sangat teliti dan hati-hati. Siang malam tidak dapat mengekang keinginannya untuk mengerjakan kain itu agar ia bisa pergi ke Baitullah.

Beberapa minggu kemudian... ia menyelesaikan sehelai kain tenun yang dibuatnya. Dengan yakinnya ia membawa kain itu ke sebuah pasar. Dicarinya toko kain yang terbaik di pasar tersebut. Hingga akhirnya ia menemukan toko kain yang mampu membeli kain tenun dengan harga yang mahal.
Sesampainya di toko, ia disambut dengan senyum hangat dan sapa dari pemilik toko. Ketika ia datang ia melihat banyak kain-kain tenun yang baik kualitasnya dijual di sini. Sang tukang tenunpun yakin, harga kainnya akan dibayar dengan harga yang tinggi. Dan ia pun kemudian memberanikan diri menawarkan kainnya kepada sang saudagar.
Sang saudagar kemudian bertanya kepada sang pembuat tenun. “Ya hamba Allah berapa harus kubayar kain tenunmu jika engkau menjual kepadaku??...“, dengan yakinnya sang pembuat tenun berkata, “30 Dirham, wahai saudagar kain!!!.“
Saudagar kainpun meneliti dengan seksama kain tersebut. Dilihatnya dengan seksama, bolak balik kain itu dimainkan oleh tangannya sembari mengecek kualitas dari bahan tersebut. Cukup lama saudagar meneliti kualitas dari kain tersebut hingga akhirnya kain tenun yang dihargai sang pembuat tenun 30 Dirham, ternyata hanya dihargai 6 Dirham.
Tiba-tiba... sang pembuat kain tenun itu meneteskan air matanya dan menangis di depan sang saudagar. Sang saudagar bingung bukan kepalang, ia kemudian menaikkan harga kain tersebut menjadi 7 Dirham, namun tidak ada yang berubah dari seorang pembuat tenun. Ia menangis semakin keras, bahkan lebih keras daripada sebelumnya. Sang saudagar semakin bingung, hingga ia berkata “Ya hamba Allah... aku akan bayar kainmu 8 Dirham, namun ini adalah penawaran terakhir kepadamu. Jika kamu terima tawaranku akan kubayar saat ini juga, tetapi jika engkau tidak mau silahkan kau bawa kembali kainmu.“ Sang pembuat tenun tetap menangis bahkan kali ini tangisannya sangat memilukan melebihi tangisan sebelumnya.
Sang saudagarpun bingung hingga kemudian ia mendekati sang pembuat tenun seraya bertanya, “Ya hamba Allah... Sebenarnya apa yang membuat hatimu bersedih dan menangis. Apakah karena tawaranku ini????“
Kemudian sang pembuat tenun ini menggelengkan kepalanya, seraya berkata “bukan, bukan karena itu saudagar“. Saudagar itupun kemudian menanyakan kembali kepadanya, “lantas apa yang membuat engkau bersedih?“. Mendengar pertanyaan itu ia kemudian menceritakan ihwal yang menyebabkan ia bersedih.
“Ketahuilah wahai saudagar... aku menangis bukan karena tawaran yang engkau berikan kepadaku. Aku menangis karena memikirkan ibadahku selama ini, jika engkau yang ahli dalam menilai sebuah kain bisa menilai dengan baik kualitas pekerjaan yang aku kerjakan. Lantas bagaimana Allah menilai ibadahku selama ini????... Selama ini aku menjalankan semua perintahnya, wajib dan sunah sudah kukerjakan semua. Bahkan setiap tahun aku tidak pernah meninggalkan perintah haji. Lantas apakah penilaianku terhadap ibadahku selama ini sama seperti penilaian Allah kepada diriku. Aku yang menghabiskan waktu siang dan malan hanya untuk mengerjakan kain tenun itu saja, yang aku pikir harganya akan mencapai 30 dirham... ternyata hanya dihargai 8 Dirham, lantas bagaimana dengan ibadahku selama ini?...”

****

Minggu, 04 Juli 2010

"nafsu & akal"

Allah menciptakan Malaikat,
beserta akal tanpa nafsu...

Allah menciptakan hewan,
beserta nafsu tanpa akal...

Dan Allah menciptakan manusia,
beserta nafsu dan akal...

Jika akal mengalahkan nafsunya,
ia dapat lebih mulia dari malaikat...

Dan jika nafsu mengalahkan akalnya,
ia dapat lebih hina dari hewan...

Manusia selalu di kelilingi nafsu,
dan hampir mustahil dapat terlepas darinya...

Jumat, 02 Juli 2010

"entah..."

Entah…
sudah berapa lama aku terlelap
larut dalam permainan
terlena dalam kesenangan yang tak berujung

Entah…
sudah berapa banyak waktuku
yang terbuang
:sia-sia

Harusnya aku menyadari…
di s’tiap sikapku!!!…

Harusnya aku berfikir…
di s’tiap gerak & langkahku!!!…

Harusnya aku juga bercermin…
:koreksi diri

agar aku tahu
siapa aku?…
dimana aku?…
dan mau kemana aku?…